Healing Process #3

Hari ini, tepat 2 tahun kepergian Abang.

Semakin ke sini, hidup saya semakin berjalan dengan baik-baik saja. Alhamdulillah ternyata Allah mudahkan semuanya. Allah mudahkan saya untuk bergerak dan beraktivitas kembali.

Sejak awal tahun ini, saya memutuskan untuk kembali tinggal dan bekerja di Jakarta. Sebuah keputusan yang cukup nekat awalnya, mengingat kota ini menyimpan banyak kenangan bersama Abang. Termasuk kenangan terakhir ketika saya melihat Abang di UGD RS Tria Dipa, melepas beliau pergi di ICU RS Medistra, hingga mengantar jenazah beliau pulang ke Pekanbaru.

Selama 8 bulan tinggal di Jakarta, saya beberapa kali dihadapkan pada tempat-tempat yang berhubungan erat dengan hari-hari terakhir Abang. Salah satunya ketika beberapa minggu lalu, sepulang bertugas di akhir pekan, saya melewati jalan tempat Abang jatuh dari motornya. Malam itu adalah kali kedua bagi saya melewati jalan tersebut. Yang pertama 2 tahun lalu ketika saya dengan nekatnya sengaja lewat jalan tersebut agar bisa membayangkan apa yang terjadi pada Abang di malam 31 Oktober itu. Di momen pertama itu, saya lemas.. saya mules.. saya keringat dingin.. Kecemasan meningkat drastis.

Berbeda dengan pengalaman 2 tahun lalu, di kali kedua saya melewati jalan itu saya sudah lebih tenang dan dapat mengelola emosi dengan baik. Sempat terdiam sesaat ketika menyadari driver ojek online mengambil arah melalui jalan yang berada di dekat Stasiun Duren Kalibata itu. Tapi kemudian saya coba untuk mengendalikan pikiran dan emosi saya. Alhamdulillah semua berjalan baik-baik saja. Sempat mellow dikit pas udah sampai di kost, tapi setelah berusaha dialihkan dengan melakukan ini itu, saya pun kembali biasa-biasa saja. 🙂

Hal yang sama juga saya rasakan ketika melewati RS Tria Dipa dan RS Medistra. Pertama kali melewati kedua rumah sakit itu usai kepergian Abang, saya merasakan kecemasan yang sama: lemas, mules dan keringat dingin. Makin ke sini, makin biasa-biasa saja. Bahkan tempat tinggal saya sekarang di Jakarta berada dekat sekali dengan RS Tria Dipa. Dekat level tiap jemur pakaian di rooftop, saya bisa melihat bangunan rumah sakit itu dengan sangat jelas.

Belum lagi ketika melewati jalanan yang dulu pernah dilalui bersama. Dulu saya gak bisa menghentikan ‘serangan’ memori yang melintas di pikiran. Sekarang alhamdulillah udah lebih bisa mengendalikan emosi dan pikiran setiap kali mendapat ‘serangan’ mendadak. Dibawa menghela nafas aja sembari istighfar dan semuanya pun menjadi normal kembali. 🙂

Pada akhirnya saya mengambil kesimpulan bahwa ketakutan dan kecemasan sangat wajar muncul di awal-awal kejadian. Terutama jika pengalaman kehilangan tersebut menjadi pengalaman traumatis yang begitu membekas. Tapi memang dibutuhkan keberanian untuk maju menghadapi semuanya. Karena ternyata semakin dihadapi, kita justru akan semakin kuat dan semakin baik-baik saja. Paling tidak itu yang saya rasakan saat ini. 🙂

Apakah saya masih suka sedih dan nangis? Tentu saja masih. Tapi udah gak sesering dulu. Hanya sesekali aja kalo udah benar-benar gak tahan.

Ketika sedih datang ya saya biarkan saja. Ingin nangis ya nangis aja. Gak perlu ditahan-tahan karena gak akan baik juga bagi diri saya kalo menahan emosi seperti itu. Katanya, it’s okay not to be okay, kan? 😉

Saya bersyukur sekali karena di Jakarta saya punya banyak kesibukan yang cukup dapat mengalihkan pikiran saya. Ya kerjaan di kantor, ya urusan Akber, ya persiapan kuliah, juga berbagai rencana lainnya yang ada di pikiran saya. Semuanya seperti disiapkan Allah agar pikiran saya teralihkan ke arah yang produktif.

***

Tantangan terbesar saya pasca kepergian Abang adalah bagaimana beradaptasi dengan kehidupan baru tanpa ada Abang di sisi saya dan bagaimana saya mengubah berbagai kebiasaan yang dulu sering kami lakukan bersama. Kebiasaan-kebiasaan yang sudah kami bangun bertahun-tahun sejak masih pacaran, dan semakin intens ketika kami sudah menikah.

Saya jadi ingat dulu saya dan Abang pernah membahas mengenai beberapa perempuan hebat yang sudah berpisah dengan suaminya. Saya tanya ke Abang bagaimana dia memandang hal tersebut, terutama sebagai seorang laki-laki dan suami. Lalu kurang lebih Abang menjawab seperti ini :

Itu yang Abang jaga banget selama ini. Abang tau Adek perempuan hebat yang bisa melakukan segala sesuatu sendirian. Tanpa Abang juga Adek pasti bisa ke sana sini sendirian, melakukan ini itu sendiri. Tapi Abang gak mau melakukan itu karena Abang ingin tetap ikut ambil bagian dari setiap hal yang Adek lakukan. Abang ingin membuat Adek butuh Abang. Rasa saling membutuhkan satu sama lain inilah yang akan kita pegang terus untuk menjaga hubungan ini.

Intinya Abang selalu membuat saya membutuhkan sosoknya. Karena itu saya selalu diantar ke sana ke sini, dibantuin ini itu. Bahkan ketika kami sudah pindah ke Jakarta, Abang masih ingin mengusahakan untuk antar jemput saya tiap kali saya ada kegiatan. Sampai saya bilang ke beliau, kalo di Jakarta kita gak bisa melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan di Pekanbaru. Karena Pekanbaru kan kota kecil ya, mau bolak balik ke sana ke mari juga gak akan sampai menghabiskan waktu berjam-jam. Sedangkan di Jakarta? Yang ada ntar waktu habis begitu aja di jalan.

Dan iya, Abang berhasil membuat saya membutuhkan sosoknya. Hingga sekarang, di saat saya sudah sendiri, saya belum bisa berhenti membayangkan betapa semua pasti akan terasa lebih mudah jika ada Abang di samping saya. Sekarang saya seperti berjalan dengan satu kaki. Karena dulu selalu ada Abang yang sigap membantu dan menemani. 🙂

Kebiasaan lainnya yang juga masih ‘mengusik’ saya adalah bagaimana dulu kami saling bertukar cerita atau info remeh temeh ke satu sama lain. Juga kebiasaan untuk mengajak satu sama lain merasakan pengalaman baru bersama-sama. Rasanya ada yang kurang kalo merasakan pengalaman baru itu seorang diri. Pengalaman menginjakkan kaki di tempat atau kota yang baru misalnya, seperti yang terlihat dari video Abang ketika beliau bertugas ke Banyuwangi. Hal yang sama juga saya rasakan ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Makassar dan Palembang pada bulan September lalu.

Semua kebiasaan itu yang sekarang dengan sepenuh hati sedang berusaha saya lawan. Meski makin ke sini, saya makin baik-baik saja, tapi saya masih sering refleks memikirkan ingin share ini itu ke Abang. Masih suka refleks bergumam dalam hati kalo ada hal baru yang saya temui dan ingin segera saya bagi ke Abang.

Belum lagi berbagai cerita yang sekarang hanya bisa saya pendam sendiri, karena gak bisa saya bagi ke orang lain. Saya si tukang cerita yang ingin banget cerita ini itu tapi udah gak tau harus cerita ke siapa, karena dulu ya apa-apa ceritanya ke Abang. Bagi yang menjalani hubungan seperti saya dan Abang, yang hobi cerita dan udah ketemu dengan teman cerita seumur hidup yang satu frekuensi, pasti dapat memahami apa yang saya rasakan saat ini.

Pada akhirnya, semua memang tentang waktu.

Waktu mungkin tidak akan pernah bisa benar-benar menyembuhkan perasaan saya atas kepergian Abang. Tapi waktu akan membuat saya belajar untuk dapat beradaptasi dengan berbagai perubahan dalam hidup. Seiring berjalannya waktu, saya yakin akan bisa menciptakan kebiasaan-kebiasaan baru, hingga pada satu hari nanti saya bisa pelan-pelan melepas semua kebiasaan lama bersama Abang dan menjalani kehidupan baru seutuhnya.

***

Hari ini, tepat 2 tahun Abang pergi.

Tidak ada yang menjadi prioritas saya saat ini selain membahagiakan kedua orang tua dan adik-adik saya, membahagiakan diri saya sendiri, mengejar mimpi-mimpi saya, melunasi janji saya kepada Abang, dan menjadi manusia yang bermanfaat untuk orang-orang di sekitar saya.

Semoga Allah selalu memudahkan jalan saya ke mana pun kaki ini melangkah. ❤


P.S. Tulisan ini menjadi catatan perjalanan ‘healing’ saya atas kehilangan sosok suami, abang, sahabat, significant person, soulmate, teman cerita satu frekuensi, teman hidup, teman berbagi suka duka, dan sosok spesial yang gak akan pernah tergantikan posisinya dari hati saya. Kehilangan beliau merupakan pengalaman kehilangan pertama bagi saya. Yang begitu menyesakkan dan membekas terasa di dalam hati.

Ke depannya, saya yakin akan lebih kuat menghadapi rasa kehilangan seperti ini. Karena pada hakikatnya, setiap yang berjiwa pasti akan kembali kepada pemiliknya.

Advertisement

9 thoughts on “Healing Process #3

  1. ndu.t.yke

    Terima kasih banyak selama 2 tahun ini sudah berbagi proses HEALING pasca ditinggal mendiang. Menjadi inspirasi sekali 🙂 Dan YA, it’s okay to be not okay, sometimes 🙂

    Like

    Reply
  2. Pingback: Tentang Penang: Dari Transportasi, Akomodasi, Hingga Itinerary | liandamarta.com

Share your thoughts!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s