“Teh Martil udah ada kepikiran untuk nikah, nggak?”
Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar begitu saja dari salah seorang junior dan rekan kerja saya di laboratorium Psikologi. Suatu siang, di saat kita berdua sedang mengisi pengarahan praktikum di kelas yang kita pegang.
Pertanyaan yang sederhana, memang. Tapi cukup membuat saya berfikir panjang. Sebenarnya, tanpa ditanyakan seperti itu pun, saya sudah pernah memikirkan tentang hal ini. Menikah. Dan bahkan terkadang topik tentang ini selalu terselip di antara bahan obrolan saya dan teman-teman saya, baik peer group semasa SMA, maupun teman sesama rekan kerja di lab.
Wajar menurut saya, karena saya dan teman-teman seangkatan -yang mayoritas sudah berusia 22 tahun dan beberapa bahkan sudah menginjak angka 23-, sudah masuk ke fase dewasa awal atau early adulthood. Menurut Santrock, usia yang dapat dikategorikan untuk masuk ke fase ini adalah dari usia 21-40 tahun. Santrock juga mengatakan bahwa salah satu tugas perkembangan seseorang yang berada di fase dewasa dini adalah memilih pasangan, belajar hidup dengan pasangan, dan mulai membina keluarga.
Memilih pasangan, belajar hidup dengan pasangan, dan mulai membina keluarga…
Jika ditanya pada diri saya pribadi, sudah pasti saya ingin (segera) menikah. Pasangan, insya Allah sudah ada. Hanya tinggal memulainya saja, namun justru itu poin terberatnya. Dulu saya menargetkan, maksimal di usia saya yang ke-25 tahun, saya harus sudah berkeluarga. September tahun ini, saya genap berusia 23 tahun. Artinya 2 tahun lagi target itu (harusnya) dapat saya realisasikan. Namun, terkadang kenyataan tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan. Dan semua mengarahkan kita agar dapat membuat pilihan. Apabila saya ingin melanjutkan pendidikan S2 saya dan mengejar cita-cita untuk menjadi seorang psikolog, tentunya pilihan untuk menikah itu harus ditunda terlebih dahulu. Begitu pula sebaliknya.
Beberapa minggu terakhir saya memang jadi lebih sering memikirkan hal ini. Mungkin karena akhir-akhir ini banyak kabar bahagia perihal lamaran atau rencana pernikahan yang datang dari orang-orang di sekeliling saya. Mungkin juga karena saya merasa satu tahapan saya (sebagai mahasiswa) telah selesai, dan saya harus bisa memutuskan tahap apa yang akan saya jalani selanjutnya.
Menikah bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan kesiapan dan kemantapan hati untuk memulainya. Tidak hanya dari pasangan kekasih, melainkan juga dari seluruh keluarga besar. Perencanaan yang harus dibuat setelah nanti membina rumah tangga juga harus dipikirkan dengan baik. Saya sering mendengar pepatah ‘dengan menikah, pintu rezeki akan dibuka’. Mungkin benar. Tapi setidaknya mempersiapkan kondisi finansial dengan sebaik-baiknya dapat meminimalisir segala kemungkinan terburuk yang (mungkin saja) akan terjadi nanti. Saya banyak melihat pasangan-pasangan muda yang menikah padahal sebenarnya belum benar-benar siap secara finansial. Kebanyakan masih disokong oleh orang tua. Belum lagi kalau sudah dianugerahi keturunan, karena diawali tanpa perencanaan yang matang, alhasil kalang kabut meminta bantuan. Yang membuat saya kagum adalah mereka, pasangan muda, yang memang telah memantapkan hati untuk menikah dan tidak merepotkan orang tua (bahkan dapat membantu orang tuanya) setelah mereka berumah tangga.
Satu hal penting lagi dari menikah adalah takdir dari Allah SWT. Tidak bisa dipungkiri, kata-kata ‘jodoh di tangan Tuhan’ itu memang benar adanya. Baru-baru ini saya mendapat kabar salah seorang teman yang sudah berpacaran selama lebih dari 7 tahun ternyata sudah putus sekitar 3 bulan lalu, dan sekarang harus menerima kenyataan pahit bahwa sang mantan pacar akan segera bertunangan dengan orang lain. Ada pula cerita bahagia dari seorang teman lainnya yang membina hubungan ‘baru’ sekitar 2 tahun, namun sekarang sudah bertunangan dan tidak sampai 3 bulan lagi akan resmi dalam ikatan pernikahan. See? Semua itu kembali lagi pada izin dan ridho Allah. Apabila Allah berkehendak, maka jalan menuju ke pelaminan pun (insya Allah) akan dimudahkan.
Insya Allah, saya percaya bahwa Allah akan memberikan jalan terbaik bagi setiap hamba-hambaNya. Apapun yang terjadi nanti, walaupun itu tidak sesuai dengan keinginan hati nurani, percayalah, itulah jalan terindah dari Allah SWT. 🙂