Momen Lebaran Yang Berbeda

Rabu (20/5) malam lalu, seharusnya saya pulang ke Batam dengan flight jam 18.40 dari Jakarta. Rencana kepulangan yang sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari, dengan tiket yang sudah dibeli sejak bulan Februari. Momen pulang yang selalu saya tunggu, agar bisa berlebaran dengan keluarga dan melepas rindu.

Tapi kita semua tentu sama-sama tau, pandemi COVID-19 yang terjadi di seluruh dunia, mengubah semuanya.

Tahun ini, umat muslim di seluruh dunia akan menjalani lebaran yang berbeda. Bahkan perbedaan ini sudah terjadi sejak dari awal Ramadan. Tidak ada shalat tarawih di masjid, tidak ada kumpul bersama keluarga, juga tidak ada momen buka puasa bersama yang bahkan biasanya sudah diagendakan sejak sebelum Ramadan tiba.

Sejak awal WFH, saya sempat terbersit keinginan untuk pulang ke Batam. Toh kerja dari rumah, begitu pikir saya ketika itu. Namun, saat membayangkan di perjalanan pulang ke rumah saya akan bertemu dengan banyak orang yang mungkin saja membawa virus Corona, membuat saya mengurungkan niat tersebut. Saya tidak ingin orang tua dan keluarga di Batam terpapar COVID-19. Terlebih lagi, daerah tempat tinggal saya di Jakarta masuk ke dalam zona merah. Namun ketika itu, saya masih menaruh harap untuk tetap bisa pulang ke rumah di momen lebaran.

Yang terjadi kemudian, kondisi ternyata tidak semakin membaik. Angka positif COVID-19 terus meningkat, dan saya selalu meyakini angka real di lapangan jauh lebih banyak dari itu). Pemerintah pun mengambil langkah lain, termasuk menerapkan kebijakan PSBB dan sempat menghentikan penerbangan antar kota. Meski kemudian, ada beberapa kebijakan yang berubah-ubah, tapi saat pertama kali ditetapkan PSBB dan seluruh penerbangan dihentikan, saya pun berupaya mengafirmasi diri untuk bisa ikhlas bahwa lebaran tahun ini akan saya jalani seorang diri.

Ya, saya akhirnya memantapkan hati untuk tidak mudik di lebaran tahun ini. 🙂

Keputusan yang berat, tapi saya yakin ini adalah keputusan terbaik. Tidak mudik dan tidak saling berkunjung di masa pandemi ini, menjadi satu-satunya cara terbaik untuk menunjukkan rasa sayang kepada keluarga.

Saya pun akhirnya berupaya untuk menghibur diri dengan berbagai hal. Teman-teman yang lihat IG story saya pasti tau bagaimana saya berusaha untuk tetap waras selama masa karantina di kamar kos ini. Saya pernah cerita juga di tulisan ini beberapa waktu lalu. Saya main game, bikin konten gaming di YouTube, bikin konten IG story, video call & zoom session dengan keluarga dan teman-teman, sampai menghadiri berbagai sesi sharing dan acara musik secara online.

Namun tetap saja, saya hanyalah manusia yang juga bisa bersedih setiap kali menyadari fakta bahwa lebaran tahun ini tidak saya habiskan bersama keluarga.

Pagi ini, saya bangun sahur dengan kondisi emosi yang campur aduk. Sedih sekali membayangkan hari terakhir Ramadhan ini saya masih di Jakarta dan jauh dari keluarga. Sedih mengingat tahun ini akan jadi tahun pertama saya menjalani hari raya Idulfitri sendirian di perantauan.

Yang bikin sedihnya makin combo adalah… orang tua saya gak bisa mengirimkan makanan. Sejak keluarga saya pindah ke Batam, momen kirim lauk pauk dan kue-kue bikinan Mama sudah tidak pernah lagi dilakukan. Teman-teman mungkin tau, Batam itu masuk ke dalam Free Trade Zone (FTZ) di mana setiap barang yang masuk ke Batam bebas pajak. Namun hal ini juga berimbas untuk pengiriman ke luar Batam. Dengan ketentuan baru nilai pembebasan bea masuk dari USD 75 menjadi USD 3, tentu saja semua barang yang mau dikirim ke luar Batam akan dihitung nilai pajaknya. Termasuk lauk pauk dan kue bikinan pribadi. 🙂

Masalahnya gak hanya itu aja sih. Pengalaman saya waktu masih menerima jastip Singapore, pasti ada aja barang yang nyangkut dan ketahan di bandara. Jadinya sangat berisiko sekali kalo mau kirim lauk pauk dan kue. Karena itu, daripada sampai Jakarta rendangnya udah berjamur atau kuenya udah hancur lebur, sebaiknya saya ikhlaskan saja kalo gak bisa makan masakan Mama di lebaran tahun ini. :’)

Kalo mengingat masa-masa kuliah di Bandung dulu, saya biasanya Idul Adha gak pernah pulang. Tapi rasanya juga gak pernah kesepian. Karena beberapa hari menjelang Idul Adha, Mama pasti mengirimkan lauk pauk dan aneka kue. Ada rendang, kue bawang, brownies, kue kering, dsb. Jadi biasanya setiap habis shalat ied di dekat kost, saya akan beli lontong sayur Uni Eva di Simpang Dago. Ini lontong sayur langganan dan jadi favorite saya selama tinggal di Bandung. Trus dimakan di kos, bersama dengan rendang dan lauk pauk kiriman Mama. Jadi tetap berasa lebaran deh meski jauh dari keluarga. ❤

Momen Idul Adha 2009 di Bandung, Mama kirim brownies kukus lengkap dengan frostingnya :)))

Tapi ya, kondisinya sekarang memang sudah berbeda. Tidak ada yang bisa dilakukan selain menjalani semuanya dengan penuh keikhlasan, sembari berupaya melihat sisi positif lain dari kondisi ini.

Ternyata, meski jauh dari keluarga dan harus karantina di kamar kos yang tiap gerak ya ke situ-situ lagi, namun hati saya tetap terasa hangat. Rasanya penuh cinta. Saya mendapat perhatian dari banyak teman baik di seluruh Indonesia. Kiriman makanan, kue, dan barang-barang yang sangat thoughtful, menemani saya selama karantina ini. Senang sekali rasanya diperhatikan sampai segininya. 🙂

Kata orang, everything happens for a reason, dan mungkin hikmah di balik pandemi ini adalah kita jadi semakin peduli dengan sesama. Saling menunjukkan perhatian dari sesederhana menanyakan kabar hingga bertukar kiriman makanan. Tidak lupa menyelipkan pesan untuk senantiasa menjaga kesehatan, hingga di suatu saat nanti kita bisa kumpul kembali saat kondisi sudah memungkinkan.

Tahun ini, momen lebaran memang akan sangat berbeda. Juga menyimpan sebuah cerita, yang kelak bisa kita kenang dan ceritakan kembali.

Selamat lebaran, teman-teman! Saya kirim peluk virtual bagi teman-teman yang juga memutuskan tidak pulang ke kampung halaman di lebaran tahun ini. Mohon maaf lahir batin ya jika saya ada salah kata dan salah sikap. Meski suasananya akan sangat berbeda, semoga kita bisa tetap memaknai esensi Ramadan dan lebaran tahun ini dengan sebaik-baiknya ya. ❤

Besok saya akan perdana shalat ied sendiri di kamar kos, lalu makan ketupat bareng anak-anak kos lainnya. Kalo kalian, apa cerita lebaran kalian tahun ini? Tulis dong di comment. 🙂

4 thoughts on “Momen Lebaran Yang Berbeda

  1. anggik

    Baru aja kejadian, hari terakhir puasa malah masuk angin, meriang jadinya batalin puasa. Untungnya lagi di tempat mertua, jadi suasananya ag ramai. Semoga beaok kembali sehat.

    Like

    Reply
  2. Ira

    Selamat Idul Fitri Lia….semoga segala keikhlasannya menjalankan Ramadhan dan Idul Fitri tahun ini dibalas berkai-kali lipat oleh Allah SWT. Aamiin!!! Mohon maaf lahir dan batin ya.
    Oia tahun ini ga ada acara teraweh di mesjid, buka puasa bersama, ataupun kumpul keluarga besar di Jakarta ataupun Bandung saat lebaran. Tetap sehat ya di Jakarta….

    Like

    Reply
  3. Pingback: Cerita Lebaran Tahun 2020 / 1441 H | liandamarta.com

Share your thoughts!