Tentang Puno (Letters to The Sky)

Puno (Letters to The Sky).

Dedicated to the people who missed their beloved one who already passed away.

***

Saya pertama kali menyaksikan pementasan Puno (Letters to The Sky) hari Jum’at tanggal 24 Agustus 2018 lalu di Edwin’s Gallery Kemang. Semesta ternyata mendukung saya untuk menikmati pementasan ini.

Di hari pertama penjualan tiket online, 10 hari sebelum pementasan dimulai, saya standby dengan handphone di tangan, membuka situs penjualan tiket. Tepat jam 10 teng, saya refresh halaman situs tersebut dan dengan secepat kilat melakukan pembelian tiket. Seketika saya menghembuskan nafas lega ketika tiket Puno sudah berada di tangan. Semakin lega saat membaca bahwa tiket online ludes dalam waktu 15 menit. 🙂

Hari-hari berikutnya, saya menjadi tidak sabar ingin segera menikmati pertunjukan ini. Tepat di hari H, ketika saya bergegas mau jalan dari kantor ke lokasi pementasan (yang hanya berjarak 1,3 km), tiba-tiba ada meeting dengan tim project. Dengan hati gelisah saya ikuti meeting tersebut. Lalu setelahnya langsung meluncur ke lokasi diiringi perasaan cemas gak karuan. Karena jika terlambat, saya tidak akan diperkenankan masuk dan tiket dinyatakan hangus.

Saya sampai di lokasi jam 19.30, dan pementasan dimulai jam 20.00. Saya menjadi orang terakhir yang menukarkan tiket pementasan malam itu. Antrian sudah panjang, saya berada sekitar 5 baris dari belakang. Dalam hati sudah pasrah, kalo memang nantinya gak dapat tempat duduk yang nyaman, ya sudahlah. Yang penting saya bisa melihat pementasan ini.

Alhamdulillah, takdir baik masih mengiringi saya di malam itu. Ketika sudah berada di posisi duduk yang menurut saya kurang nyaman, saya coba melihat ke belakang mencari-cari siapa tau ada tempat kosong. Lalu seorang perempuan melambaikan tangannya dan memanggil saya. Ada tempat kosong di sebelahnya. Tempat yang jauh lebih nyaman dari tempat duduk saya sebelumnya. Bonusnya, saya mendapat teman baru malam itu. 🙂

***

DSC08426

Puno (Letters to The Sky) adalah pementasan teater boneka dan merupakan karya orisinal dari Papermoon Puppet Theatre. Tentang menghadapi kehilangan orang tersayang yang terinspirasi dari pengalaman kematian orang tua, kakak, sahabat, pasangan, dan anak. Pementasan ini mengajak kita mengenali rasa kehilangan sebagai pengalaman emosi, agar dapat semakin menghargai apa yang kita miliki hari ini.

Puno (Letters to The Sky) mengangkat kisah tentang seorang anak perempuan bernama Tala bersama ayahnya, Papa Puno. Tanpa banyak kata, hanya memanggil nama satu sama lain dan berbagai jenis tawa, cerita ini mengalir indah dan mengirimkan energi yang luar biasa.

Di pementasan yang berlangsung selama 50 menit ini, saya bersama pengunjung lainnya dibawa untuk menikmati pengalaman emosi yang luar biasa. Dari kehangatan interaksi antara Tala dan Papa Puno, sampai duka mendalam yang dirasakan Tala ketika Papa Puno tiada.

Ya, cerita ini mengangkat tentang kematian.

Tentang bagaimana orang-orang tersayang yang ada di hidup kita, dapat meninggalkan kita kapan saja.

Tentang bagaimana kita yang suatu saat nanti juga akan meninggalkan orang-orang yang kita sayangi di dunia.

Kematian itu nyata. Siapa pun pasti akan merasakannya.

Bagi yang ditinggalkan, rasa kehilangan itu selamanya akan selalu terasa. Meski seiring waktu, hidup akan berjalan kembali seperti semula, tapi rasa rindu pada mereka yang telah tiada akan selalu tersimpan di lubuk hati terdalam.

Malam itu, semua rasa rindu saya pada Abang seketika menyeruak. Membuat saya menangis tersedu-sedu selama pementasan berlangsung. Hal ini juga terjadi pada puluhan pengunjung lainnya, yang sama-sama menangis dan menitikkan air mata. Entah mereka mengingat siapa, mungkin ayahnya, ibunya, kakak adiknya, atau mungkin sahabatnya. Satu hal yang pasti, mereka yang diingat itu pastilah orang-orang yang sangat disayangi.

Pementasan ini memang mengangkat cerita tentang Tala dan Papa Puno. Tapi saya yakin, terutama bagi yang pernah kehilangan orang-orang tersayang, selama pementasan berlangsung, di hati dan pikiran kami semua akan berputar cerita versi kami masing-masing. Dengan orang-orang tersayang yang telah lebih dulu pergi.

Paling tidak, itu yang saya rasakan.

Tanpa bisa dikendalikan, kenangan manis bersama Abang berputar dalam ingatan ketika melihat Tala yang asik bercengkrama dengan Papa Puno.

Kenangan ketika malam itu Abang meninggalkan saya selama-lamanya juga tiba-tiba terlintas di pikiran, saat saya melihat Papa Puno pergi dan Tala yang terdiam di sudut ruangan.

Lalu… ketika melihat Papa Puno yang sudah berada di ‘langit’ tetap mengawasi dan melindungi Tala dengan segala caranya, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan bahwa Abang juga mungkin saja melakukan hal yang sama.

Entahlah.

Hanya air mata yang terus mengalir tanpa henti yang bisa menggambarkan perasaan saya ketika menyaksikan pementasan ini.

Saya akui, duka itu masih ada. Tapi entah bagaimana, ada kelegaan luar biasa yang saya rasakan usai menikmati pementasan Puno. Terlebih karena saya berada dalam satu ruangan dengan orang-orang yang juga merasakan hal yang sama. Somehow hal ini membuat saya lega. Karena saya tau, saya tidak sendiri. 🙂

IMG_1806

Usai pementasan berlangsung, air mata yang belum sepenuhnya kering kembali dibuat berkaca-kaca ketika membaca isi surat kiriman orang-orang yang merindukan sosok tersayang yang sudah lebih dulu pergi. Selama pementasan berlangsung, surat-surat itu dipasang di langit-langit ruangan. Lalu di akhir pementasan, surat-surat tersebut diturunkan sehingga bisa dibaca sepuasnya oleh kami yang berada di sana.

Saya menyempatkan diri membaca suratnya satu per satu. Berbagai luapan rasa rindu kepada orang tua, nenek, kakek, anak, pasangan, dan sahabat, tertulis di puluhan surat-surat itu.

Ada ungkapan kebahagiaan melaporkan hidup mereka saat ini.

Ada ungkapan kesedihan dan penyesalan.

Ada pula permohonan maaf yang tidak sempat disampaikan.

Bacanya bikin mewek. 😥

DSC08424

***

Secara keseluruhan, pementasan Puno (Letters to The Sky) ini indah sekali. Keindahan yang hanya bisa saya rekam dengan mata dan hati, serta dirasa oleh seluruh indera yang saya punya. Terasa sekali bahwa karya ini dibuat dengan penuh cinta.

Setnya sederhana, namun dibuat dengan sangat detail. Latar musik yang mengiringi di sepanjang pementasan berhasil memainkan emosi. Dan yang terpenting serta menjadi nyawa di pementasan ini adalah keempat puppeteer (dalang boneka), yang berhasil menyajikan pementasan dengan sangat baik dan menyampaikan emosi yang luar biasa kepada kami para penonton. Asli, mereka keren! ❤

Melalui Tala dan Papa Puno, pementasan ini berhasil membangkitkan kenangan bersama mereka yang telah lebih dulu pergi. Mengingatkan kembali bahwa orang-orang tersayang ini akan selalu ada di hati.

Melalui Tala dan Papa Puno, saya diingatkan untuk lebih menghargai kebersamaan dengan orang-orang tersayang yang masih ada di bumi. Dan menyadarkan saya betapa menjalani hari-hari bersama mereka sangatlah berarti. ❤

***

Saya jatuh cinta dengan pementasan ini.

Sejatuh cinta itu sampai seminggu lalu, dua hari setelah menikmati pementasan Puno di Jakarta, saya memutuskan untuk menikmati karya indah ini sekali lagi. Di Bandung. Kota yang menyimpan banyak cerita tentang saya dan Abang.

Kemarin siang, saya baru saja menyaksikan pementasan Puno untuk yang kedua kalinya. Rasanya masih sama. Saya masih dibuat terpukau, masih banjir air mata, dan masih merasakan kehangatan di dalam hati usai menontonnya.

Usai menonton saya sempatkan juga untuk mengobrol dengan Mbak Ria, founder Papermoon Puppet yang juga penulis naskah cerita Puno (Letters to The Sky). Saya mengucapkan terima kasih atas karya indah ini. Lalu saya cerita bahwa saya dan Abang pernah menonton Papermoon Puppet di @america tahun 2016 lalu, dan setelah itu kami ingin datang ke Pesta Boneka di Jogjakarta pada bulan Desember. Namun, keinginan itu tidak pernah terwujud seiring kepergian Abang di awal November 2016 lalu.

Dari obrolan singkat siang kemarin, saya terngiang-ngiang apa yang Mbak Ria bilang: “Bagi saya, menikmati pementasan ini jadi healing saya pasca ditinggal Bapak, Ibu, dan Kakak saya beberapa tahun lalu. Semoga kamu juga merasakan hal itu ya.

Dan iya, menikmati pementasan ini menjadi bagian dari healing saya. Tidak hanya karena emosi yang disampaikan di pementasan ini sangat relate dengan apa yang saya rasakan selama dua tahun terakhir. Tetapi juga karena Papermoon Puppet menjadi salah satu dari obrolan saya dan Abang, di hari-hari terakhir beliau ada di bumi.

Terima kasih, Papermoon Puppet! Terima kasih Mba Ria & team! Terima kasih atas karya yang luar biasa indah ini. ❤

Tulisan ini saya dedikasikan untuk Abang Sornong Maulana yang masih dan akan selalu mengisi tempat spesial di hati saya.

Apa kabar di sana? Lia kangen sekali, Bang. :’)

14 thoughts on “Tentang Puno (Letters to The Sky)

    1. liandamarta.com Post author

      Saya kebetulan follow Instagramnya Papermoon Puppet, jadi tau infonya dari sana. Bulan Oktober mereka bikin Pesta Boneka tuh di Jogja. Coba aja cek info detailnya di akun IG mereka ya. 🙂

      Like

      Reply
  1. Pingback: September Tahun Ini | liandamarta.com

  2. Pingback: Kumpul Teman Tulus | liandamarta.com

  3. Pingback: Berdamai dengan Bandung | liandamarta.com

Share your thoughts!