Sebuah Tulisan untuk World Autism Awareness Day 2016

Tulisan ini harusnya dipost semingguan lalu, tapi apa daya… saya kadang suka terlalu (sok) sibuk. Jadilah tulisannya gak kelar-kelar. Duduk manis aja di draft.

Anyway, di tulisan ini saya ingin membahas tentang World Autism Awareness Day yang jatuh setiap tanggal 2 April. Di event World Autism Awareness Day ini, semua orang dari berbagai belahan dunia ikut memberikan dukungan dan menunjukkan kepedulian mereka pada anak-anak autis.

Saya sendiri sejak tahun 2011, setiap bulan April selalu membuat tulisan seputar autisme di blog pribadi saya. Sebagai bentuk support saya terhadap anak-anak dengan autisme, saya ingin berbagi informasi kepada semua orang tentang apa itu autisme dan bagaimana cara menangani anak-anak dengan autisme.Logo WAAD

Mempelajari lebih dalam tentang autisme memang menjadi hal favorite saya sejak kuliah. Bahkan di saat kuliah kerja praktek, saya mendapatkan subjek seorang anak autisme berusia 5 tahun dengan gangguan sensori pada area taktil (sentuhan). Itu kali pertama saya berhadapan langsung dengan anak autis. Pengalaman yang cukup berkesan. 🙂

Salah satu mimpi saya dari dulu adalah ingin bisa melanjutkan studi ke jenjang Magister, mengambil profesi Psikolog Anak lalu kemudian mendirikan klinik terapi untuk anak berkebutuhan khusus, terutama anak autis. Inginnya sih bisa memberikan layanan terapi yang gratis bagi anak autis dari kalangan keluarga yang tidak mampu. Karena menurut saya, meskipun mereka dilahirkan di keluarga dengan kondisi keuangan yang sulit, tapi mereka tetap punya hak untuk dapat tumbuh dengan baik. Jadi, jangan sampai masalah finansial menghambat mereka untuk mendapatkan penanganan dengan baik.

Keinginan saya mendalami anak dengan autisme cukup besar, hingga akhirnya di pertengahan tahun 2015 saya memutuskan ‘banting stir’ dari pekerjaan di bidang HR ke pekerjaan baru sebagai seorang terapis untuk anak autis. 🙂

terapi-autis

Di pekerjaan baru saya sebagai seorang terapis ini, mimpi lama saya seolah diberi jalan, meskipun tidak secara langsung. Jadi, pusat terapi tempat saya bekerja ini adalah milik pemerintah provinsi yang menyediakan layanan terapi gratis khusus untuk anak autis dari kalangan yang tidak mampu secara finansial. Saya seperti mendapat tempat untuk bisa belajar sekaligus mengabdikan diri dengan ilmu yang saya punya, kepada masyarakat di sekitar saya.

Anyway, setelah bekerja selama kurang lebih 8 bulan di pusat terapi tersebut dan menangani total 10 orang anak, saya merasa banyak sekali mendapat pengalaman baru. Anak-anak yang saya tangani usia dan permasalahannya beragam. Tapi, untuk keberhasilan terapi, faktor penentunya sama : konsistensi.

KONSISTEN 1 : AKTIVITAS TERAPI

Konsisten yang saya maksud di sini mencakup banyak hal. Baik itu dalam hal terapi, yang tidak hanya mengandalkan terapi di klinik atau pusat terapi saja, tetapi juga program terapi diulangi lagi di rumah. Setiap selesai satu sesi terapi, orang tua biasanya akan diberikan penjelasan tentang apa saja program dan aktivitas terapi yang diberikan di sesi tersebut. Harapannya, orang tua bisa mengulangi kembali di rumah. Biar gimana pun, terapis yang sebenarnya bagi anak-anak autis tersebut adalah orang tua. Jadi, keberhasilan terapi tentu saja berada di tangan orang tua yang berada hampir 24 jam bersama si anak.

KONSISTEN 2 : POLA MAKAN ANAK

Selain mengenai pengulangan terapi di rumah, orang tua (dan keluarga besar lainnya, tentu saja) juga harus konsisten menjalankan diet ketat pada anak. Anak-anak autisme itu tidak boleh mengonsumsi makanan/minuman yang mengandung casein, gluten, dan juga makanan/minuman yang mengandung gula dan bahan pengawet. Seperti susu sapi, tepung terigu, gula, cokelat, dll. Biasanya urusan diet ini yang paling susah dijalani orang tua. Sering gak tega sama anak, apalagi kalo anak udah nangis menjerit-jerit minta sesuatu.

Tapi, percayalah.. keberhasilan proses terapi pada anak-anak autis salah satunya juga didukung dengan diet ketat ini. Jadi, lebih baik tega-tegaan sekarang agar mendapatkan hasil yang maksimal, kan? Jika memang susah untuk langsung menghentikan kebiasaan anak mengonsumsi makanan dengan casein, gluten, dan juga yang mengandung gula, paling tidak pelan-pelan dikurangi intensitasnya. Diganti dengan makanan lain yang lebih cocok untuk mereka. Untuk hal ini, bisa konsultasi lebih lanjut dengan ahli gizi ya. Karena kebutuhan tiap anak biasanya berbeda. 🙂

KONSISTEN 3 : ATURAN

Salah satu ciri anak dengan autisme adalah gangguan pada perilakunya. Mereka biasanya tidak paham dengan perintah dan larangan. Karena itulah, di program terapi bagi anak autisme, biasanya ada Terapi Perilaku (program yang saya pegang).

Di terapi perilaku ini, anak diajarkan untuk bisa memahami dan mengerti perintah dengan baik. Selain itu anak juga diajarkan agar mengerti dengan larangan. Apa yang tidak boleh, ya tidak boleh. Apa yang baru didapatkan nanti, ya nanti, tidak bisa sekarang.

Nah, orang tua di rumah juga sebaiknya konsisten terkait hal ini. Awalnya anak pasti akan nangis menjerit-jerit, tapi jika hal ini dilakukan terus menerus secara konsisten, pada akhirnya anak akan paham sendiri dengan aturan yang telah dibuat tersebut dan ketika dilarang melakukan sesuatu hal, mereka tidak akan menangis & menjerit lagi. 🙂

Oh ya, jangan lupa untuk memberikan reward jika anak berhasil melakukan apa yang diperintahkan. Reward tidak harus selalu berupa barang, tapi juga bisa berupa apresiasi seperti tepuk tangan, pelukan, atau sekedar kata-kata “good job“. 🙂

***

Okay then. Segini dulu sharing dari saya. Saya juga masih perlu belajar banyak tentang penanganan anak autis ini. Nanti kapan-kapan saya share lagi. Intinya sih saya pengen bikin tulisan yang informatif di blog saya tentang anak autis setiap bulan April, sebagai bentuk dukungan saya pada World Autism Awareness Day ini. 🙂

Jika teman-teman ada pengalaman lain yang berhubungan dengan anak autis dan penanganannya, silahkan share di kolom comment ya. Terima kasih! 🙂

7 thoughts on “Sebuah Tulisan untuk World Autism Awareness Day 2016

    1. liandamarta.com Post author

      Bukan ‘disembuhkan’ sih mba, karena autis sendiri bukan penyakit. Tapi gangguan tumbuh kembang anak, kalo aku sih pake kata-kata ‘dibantu untuk tumbuh kembang dengan baik’, kurang lebih gitu 😀

      Pada dasarnya bisa sih, tapi ya seperti yang aku tulis mba, support dan komitmen orang tua untuk selalu memberikan terapi pada anaknya itu menentukan keberhasilan tumbuh kembang anaknya 🙂

      Like

      Reply
  1. alrisblog

    Apa yang kita pikirkan dan inginkan alam sepertinya membantu mewujudkan. Tuhan maha mendengar keinginan umatnya. Keinginan Lia untuk bekerja menangani anak autis ternyata terkabul.
    Salut bekerja untuk mereka yang punya kelebihan khusus.

    Like

    Reply
  2. Hastira

    pernah aku ikut kelas inspirasi di sekolah dimana sekolah umum yg menerima anak autisme, aku terharu melihatnya guru2nya sabar dan teman2 yang normal juga gak negbuly dan malah membimbing temannya yg autis. merinding jadinya

    Like

    Reply
  3. Pingback: Mimpi Saya untuk Anak Autis di Indonesia | liandamarta.com

Share your thoughts!