Desa Melebung — Sepenggal Cerita dari Sebuah Desa di Pinggir Kota

Siapa yang menyangka, di kota besar seperti kota Pekanbaru ini, masih ada masyarakatnya yang ‘tertinggal’ dan hidup dalam kondisi yang memprihatinkan? Pekanbaru, ibukota provinsi Riau, yang dikenal orang sebagai provinsi yang kaya raya karena minyak dan gas buminya, ternyata menyimpan sepenggal cerita tentang sebuah desa di pinggir kota.

Desa Melebung, namanya.

Desa ini terletak di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit. Lokasinya yang ‘terperangkap’ tersebut membuat akses keluar masuk ke desa ini cukup sulit. Saya sempat cari info dan petunjuk arahnya di Google Maps, tapi lokasinya gak ke-detect sama sekali.

Untuk menuju Desa Melebung, ada dua alternatif jalan. Pilihan jalan pertama, menembus perkebunan kelapa sawit, jarak tempuhnya lebih dekat. Hanya saja, jalannya jelek dan tidak bisa dilewati oleh mobil-mobil kecil. Opsi lainnya, dengan kondisi jalan yang lebih bagus daripada opsi pertama, hanya saja jalannya memutar. Keluar dari Pekanbaru, menuju Perawang, dan masuk ke areal perkebunan kelapa sawit. Waktu tempuh dari kota Pekanbaru kurang lebih 1 jam perjalanan. Opsi kedua inilah yang saya dan teman-teman pilih ketika akan mengunjungi Desa Melebung untuk survey lokasi Kelas Inspirasi Pekanbaru.

Sejujurnya saya agak susah menjelaskan patokan jalan menuju Desa Melebung ini. Tapi yang pasti, untuk menuju ke sana, kita akan melewati jalan Lintas Timur yang mengarah ke kota Perawang. Jalannya beraspal beton seperti foto ini :

DSC06470Kurang lebih 30-45 menit perjalanan dari arah Pekanbaru, kita akan menemukan semacam jalan yang bercabang. Kalo ke kanan, itu artinya meneruskan perjalanan ke Perawang. Sedangkan ke kiri, ada gapura yang menjadi jalan masuk ke areal perkebunan kelapa sawit dan juga merupakan akses masuk ke Desa Melebung. Jalannya tidak lagi beraspal beton, melainkan berpasir dan berbatu. Sepanjang mata memandang, kiri kanan jalan yang terlihat hanyalah perkebunan kelapa sawit.

DSC06474In the middle of nowhere…

Saat pertama kali masuk ke areal perkebunan kelapa sawit ini, rasa ragu menyelinap. Agak ngeri sih karena di kiri dan kanan yang terlihat hanya perkebunan kelapa sawit saja. Selama hampir 30 menit perjalanan menuju salah satu SD yang menjadi tujuan kami, dapat dihitung dengan jari berapa kali kami berpapasan dengan kendaraan bermotor lainnya. Jalanan memang kosong melompong. Tidak ada siapa-siapa. Entah karena kami ke sana saat weekend, atau memang kondisinya selalu sepi seperti itu.

Oh ya, di areal tersebut, selain ada perkebunan kelapa sawit juga ada 2 buah pabrik. Pabrik kayu dan pabrik gas. Jadi jangan heran kalo kendaraan yang sering ditemui selama perjalanan adalah truk-truk besar.

Anyway, tujuan utama saya dan teman-teman Kelas Inspirasi Pekanbaru pergi ke Desa Melebung adalah untuk melihat Sekolah Dasar yang menjadi tempat saya mengajar hari Senin nanti. Akan tetapi, dalam perjalanan survey tersebut, saya mendapat banyak cerita yang tentang kondisi di Desa Melebung ini yang menurut saya sangat memprihatinkan sekali.

Desa ini masuk ke dalam Kelurahan Sail, Kecamatan Tenayan Raya, Pekanbaru. Satu kelurahan loh sama tempat tinggal saya. Jarak tempuhnya dari kota Pekanbaru pun, walaupun mengambil jalan memutar tapi sebenarnya tidak terlalu jauh. Sejam perjalanan bisa saya bilang gak terlalu jauh dong ya? Tapi ironisnya, kondisi masyarakat di sana AMAT SANGAT JAUH BERBEDA dengan kondisi masyarakat Pekanbaru yang tinggal di tengah kota.

  1. Listrik di Desa Melebung HANYA hidup selama 5 jam setiap harinya. Dari jam 6 sore sampai jam 11 malam.
  2. Sinyal telfon seluler tidak stabil. Biasanya hanya lancar di pagi hari, siang sudah ilang-ilangan. Internet? Sudah jelas tidak bisa diakses di sana.
  3. Ada sebuah puskesmas di Desa Melebung yang dulu dibangun saat ABRI masuk desa, akan tetapi saat ini puskesmas tersebut KOSONG. Tidak ada dokter jaga sama sekali. Jika sakit? Ya ke puskesmas terdekat di luar Desa Melebung, yang jaraknya berkilo-kilo meter dari Desa Melebung.
  4. Lampu penerangan jalan cuma sedikit. Kebayang dong kalo malam gelapnya seperti apa jalanan di Desa Melebung itu?
  5. Salah satu sekolah yang kami kunjungi (SDN 135), bangunannya memang bisa dikatakan layak, hanya saja di sana cuma ada 4 ruang kelas. Sehingga, 1 ruangan biasanya digunakan oleh 2 kelas secara bersamaan. Gurunya ngajar bergantian. Oh ya, tidak ada perpustakaan di sekolah itu.
  6. Kesadaran akan pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat Desa Melebung masih sangat kurang. Menurut salah seorang guru di SDN 135, banyak masyarakat yang beranggapan “ngapain sekolah tinggi-tinggi kalo ujung-ujungnya kerja sebagai buruh kebun sawit” 😦

DSC06511Ruang Guru SDN 135, Desa MelebungDSC06502 Ruang Kelas SDN 135, Desa Melebung

DSC06516Puskesmas kosong di Desa Melebung.

Masyarakat di sana sehari-hari bekerja sebagai buruh di perkebunan sawit. Yang well, penghasilannya mungkin tidaklah banyak. Jauhlah ya kalo dibandingkan dengan si empunya kebun. 🙂

Well, kurang lebih itulah beberapa gambaran kondisi yang saya temui di Desa Melebung. Menurut saya sih ya, kondisi itu terjadi karena lokasi Desa Melebung yang ‘terperangkap’ di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit dan aksesnya yang susah, sehingga tidak banyak orang yang tau tentang keberadaan Desa Melebung ini. Ironisnya, pemerintah pun seakan ‘menutup mata’.

Di Desa Melebung, ada beberapa sekolah dasar. Anak-anak buruh dapat sekolah secara gratis, tanpa membayar sepeser pun. Buku-buku juga dipinjamkan dari pihak sekolah. Meskipun begitu, tetap saja ada orang tua yang tidak mengizinkan anaknya pergi ke sekolah dan justru meminta sang anak untuk tinggal di rumah saja menjaga adik. Menurut cerita dari salah seorang guru SDN 135, ada salah seorang anak yang datang ke sekolah dengan membawa adiknya. Jadi ia tetap bisa belajar sambil menjaga sang adik.

Saat kunjungan itu, saya juga sempat ‘ngintilin’ beberapa anak-anak SDN 135 yang akan pulang ke rumahnya masing-masing. Mereka berjalan kaki melewati perkebunan kelapa sawit. Ada yang sambil menggendong adiknya. Hati saya hangat melihat pemandangan itu. Membayangkan betapa perjuangan mereka untuk bisa mendapatkan pendidikan yang layak saja harus ‘segitunya’.

DSC06514Jalan kaki berkilo-kilo meter demi bisa sekolah :’)

Kunjungan saya ke Desa Melebung ini menyadarkan saya akan satu hal, bahwa di sudut kota Pekanbaru -kota yang sering dianggap orang sebagai ‘kota yang kaya raya’ karena terkenal dengan minyak dan gas buminya itu-, masih tersimpan cerita tentang perjuangan masyarakat yang hidupnya ‘terperangkap’ di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit. Masyarakat yang masih sangat kesulitan mendapatkan informasi. Masyarakat yang setiap harinya harus merasakan mati listrik. Masyarakat yang jika sakit, harus berjalan berpuluh-puluh kilometer jauhnya, demi mendapatkan penanganan medis yang layak. Masyarakat yang masih kurang mendapatkan perhatian dari Pemerintah.

Sementara di sudut kota Pekanbaru yang lainnya, masyarakatnya hidup dengan penuh kesenangan. Banyak cafe dan restaurant mahal yang bermunculan, menggambarkan sisi hedonisme masyarakat kota bertuah ini. Mobil-mobil mewah terparkir di pinggir jalan mencari perhatian. Gedung-gedung tinggi dan perumahan elit bertebaran di mana-mana, menawarkan kenyamanan.

Sebuah potret yang sangat bertolakbelakang, bukan?

Well, ada sedikit harapan di hati saya berharap pemerintah dapat lebih tanggap dan peduli dengan kondisi masyarakat di desa-desa kecil di pinggiran kota Pekanbaru. Bagaimana pun, masyarakat di desa-desa itu adalah masyarakat kota Pekanbaru juga kan? Mereka berhak hidup layak. Mereka berhak mendapatkan kehidupan yang sama baiknya dengan masyarakat yang tinggal di tengah kota.

Semoga kunjungan teman-teman relawan pengajar Kelas Inspirasi Pekanbaru hari Senin nanti memberikan banyak manfaat bagi masyarakat Desa Melebung, khususnya anak-anak SDN 135. Semoga semakin banyak orang yang peduli dan mau mengadakan kegiatan-kegiatan positif lainnya di Desa Melebung. Semoga pembangunan di Pekanbaru dapat lebih adil dan merata, terutama untuk daerah-daerah terpencil seperti Desa Melebung ini. Semoga pemerintah Pekanbaru bisa lebih peka dan lebih peduli dengan masyarakatnya yang kehidupannya terisolir jauh dari pusat kota.

Dan semoga, masa depan anak-anak Desa Melebung dapat seindah senyuman yang terukir di wajah mereka ini. 🙂

DSC06488DSC06499

30 thoughts on “Desa Melebung — Sepenggal Cerita dari Sebuah Desa di Pinggir Kota

  1. Hotel di Malang

    Aamiin.. Sungguh mengesankan, indonesia memiliki ribuan desa yang masih belum tersnetuh oleh perhatian pemerintah, kalau bukan para relawan dan penduduk setempat siapa lagi yang peduli dan membangunnya. Kita harus yakin bahwa tidak ada yang tidak mungkin dari desa ini akan terlahir orang besar.

    Like

    Reply
    1. liamarta Post author

      Iya masih masuk Pekanbaru, Ajo. Jalannya jadi jauh karena harus mutar, menurutku dari Kulim bisa lebih dekat tapi ya itu terblokir perkebunan sawitnya Ajo..

      Amin.. Makasih ya Ajo.. Nanti insya Allah akan share ceritanya 🙂

      Like

      Reply
  2. elam

    Sedih lihat foto terakhirnya. Lihat anak2 yang tertawa bahagia tanpa tahu apa yang akan dihadapi mereka kelak saat dewasa 😦 Semoga masa depan mereka lebih baik dari orangtuanya…

    Like

    Reply
  3. Messa

    biasanya, anak-anak yang ditempa kehidupan keras, besarnya akan lebih menghargai hidup dan berpendirian teguh, Lia. Semoga saja. Sukses buat Kelas Inspirasinya!

    Like

    Reply
    1. liamarta Post author

      Iya bener, mbak Messa. Mereka lebih kuat dan tangguh ya. Semoga mereka selalu diberikan kemudahan dalam mencapai cita-citanya ya, mbak. Amin! 🙂

      Like

      Reply
  4. Pingback: Cuti Sehari, Seumur Hidup Menginspirasi | My Life, My Story

  5. Pingback: Best of 2014 | My Life, My Story

  6. Maxgheto

    dahulu sebelum ada SD di situ anak2 melebung mengarungi sungai siak buat menempuh SD di Keluarahan Tebing tinggi Okura, teman2 saya ketika banyak anak2 melebung.. salam anak Okura (Adi Maju)

    Like

    Reply
  7. Pingback: Setitik Asa untuk Kampung Melebung | liandamarta.com

  8. Pingback: Cerita Perjalanan Anak-Anak Kampung Melebung | liandamarta.com

  9. Pingback: Menimba Ilmu di #SeminarGizi Sarihusada | liandamarta.com

  10. Pingback: #NgobrolinPekanbaru Eps. 1 : Tentang Pekanbaru | liandamarta.com

  11. Pingback: Serunya Bermain di Festival Anak Jujur 2016 | liandamarta.com

  12. Pingback: #NgobrolinPekanbaru Eps. 4 : Komunitas Seru di Pekanbaru | liandamarta.com

Share your thoughts!