Tentang Film Soekarno dan 99 Cahaya di Langit Eropa

Jum’at malam dan Minggu malam lalu, saya dan Abang pergi nonton 2 film Indonesia yang sedang ramai dibicarakan. Film Soekarno dan 99 Cahaya di Langit Eropa. Menurut saya yang awam di dunia perfilman, kedua film ini bagus dan layak untuk ditonton. Walau ada yang bikin gengges di beberapa sisi, tapi yaaa not bad lah. 🙂

Ada satu kesamaan pesan yang bisa saya tangkap dari kedua film ini. Tentang “menyerah untuk menang”. Untuk lebih jelasnya, cek review abal-abal saya terhadap dua film ini yah! 😉

1. Soekarno

Film ini mengisahkan tentang perjalanan bapak proklamator kita dalam meraih kemerdekaan Indonesia. Diawali dengan pemutaran lagu Indonesia Raya, membuat penonton (at least, saya) merasa merinding ketika mendengarnya. Dengan film ini, kita diajak mengingat kembali pelajaran sejarah jaman sekolah dulu dengan tampilan wajah-wajah baru para aktor dan artisnya. 🙂

Saya gak akan menceritakan detail jalan ceritanya ya, kalo soal itu silahkan ditonton langsung saja di bioskop hehe. Tapi saya mau sharing pendapat saya mengenai film ini. Menurut saya, akting Ario Bayu sebagai Bung Karno cukup perfecto. Pembawaannya sebagai sosok yang kharismatik dan punya daya tarik dalam menjadi leader Indonesia di film ini keren sekali. Beda banget lah dengan gaya doi ketika main di film Catatan si Boy. 😀

Nah, kalo Ario Bayu bagi saya cukup perfecto, maka saya mau kasih applause terdahsyat untuk Lukman Sardi yang berperan sebagai Bung Hatta. Pembawaannya itu loh, bung Hatta banget deh! Bahkan ketika di credit title, foto Lukman Sardi as Bung Hatta disandingkan dengan foto asli Bung Hatta, saya bisa bilang itu mirip banget! 😀 Well, tapi gak heran sih ya karena Lukman Sardi ini di film apapun yang dibintanginya, gayanya selalu total. 🙂

Secara garis besar, inti cerita di film Soekarno ini seperti yang saya ceritakan di atas tadi adalah tentang upaya Bung Karno, Bung Hatta, dan tokoh kemerdekaan lainnya dalam meraih kemerdekaan Indonesia. Ada pula diselipkan tentang kisah personal life nya Bung Karno, tentang bagaimana ia menjalani kehidupan dengan bu Inggit dan bagaimana ia bertemu dengan Fatmawati (yang juga berperan besar dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia — Masih ingat kan siapa yang menjahit bendera merah putih? Soal ini sepertinya banyak keluar di ujian sejarah sewaktu sekolah dulu hehe).

Bung Karno, dengan gaya kharismatiknya mampu ‘menaklukkan’ Belanda dan Jepang yang menjajah Indonesia saat itu. Bukan dengan cara kekerasan, melainkan dengan menjalin hubungan yang baik guna bisa merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Dan upaya tersebut akhirnya berhasil, diawali dengan kehancuran Jepang pasca serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.

Ini salah satu yang saya maksud dengan “menyerah untuk menang”. Cara Bung Karno berbuat baik dan menghormati pihak lawan ternyata membawa ia (dan rakyat Indonesia lainnya) pada gerbang kemenangan. Seperti yang Bung Karno katakan, hormatilah musuh-musuhmu karena ia mengetahui kelemahan-kelemahanmu. 🙂

2. 99 Langit di Cahaya Eropa

Film yang diangkat dari novel yang sama ini menarik minat saya karena setting film yang 100% dilakukan di Eropa. Adalah Hanum Rais (diperankan oleh Acha Septriasa) yang sedang mengikuti suaminya melanjutkan studi S3 di Wina, Austria. Dalam kehidupannya di Wina, Hanum banyak dipertemukan dengan fakta tentang keberadaan umat Muslim di negara yang umat Muslim menjadi minoritas itu. Hanum bertemu dengan Fatma (diperankan oleh Raline Shah) dan Marion (diperankan oleh Dewi Sandra). Dan pertemuan itu membawa ia banyak mendapatkan pengetahuan baru tentang sejarah Islam di Eropa.

Saya belum pernah baca novelnya dan cukup terkaget-kaget dengan banyak hal yang disampaikan di film ini terkait sejarah peradaban Islam di Eropa. Saya sebelumnya udah pernah dengar tentang peradaban Islam di Eropa, terutama di Cordoba, Spanyol. But, still, saya masih dibuat terkagum-kagum dengan peninggalan sejarah Islam di sana. Sempat ditampilkan lukisan Bunda Maria di Museum Louvre, yang mana di jubahnya terukir kaligrafi arab yang kalo dibaca berbunyi “La illaha illallah” dan fakta gerbang kemenangan Arc de Triomphe yang jika ditarik lurus ke depan, akan membawa kita ke bangunan-bangunan bersejarah lainnya di Paris, salah satunya Museum Louvre. Dan jika ditarik kembali garis lurus ke arah timur akan membawa kita ke sebuah tempat paling monumental di muka bumi ini, yaitu Ka’bah di Masjidil Haram. Jujur, saya baru tau soal ini, dan saya speechless dibuatnya. Subhanallah. Saya pun jadi penasaran, setau saya gerbang kemenangan Arc de Triomphe ini juga banyak terdapat di beberapa negara lain di benua Eropa kan ya? Jika iya, apakah arahnya juga sama menghadap ke Ka’bah? Ada yang bisa ngasih penjelasan terkait hal ini? 🙂

Well, menyambung pernyataan saya tentang pesan “menyerah untuk menang” yang saya bahas di atas tadi, saya bisa melihatnya dari film 99 Cahaya di Langit Eropa ini. Kondisi umat muslim dan juga pendatang yang tidak bisa berhasa Jerman dengan lancar, menjadi minoritas di sana. Banyak perlakuan yang mungkin kurang menyenangkan dari masyarakat setempat yang (diceritakan di film) dialami oleh Hanum, Rangga, Fatma, dan teman mereka. Tapi, apakah melawan menjadi solusi yang mereka pilih? Ternyata tidak. Mereka cenderung ‘menyerah’ dan mengalah, dan justru berbuat kebaikan pada pihak yang menyerang mereka. 🙂

Oh ya, ada satu hal nih yang saya rasa sangat ngeganggu dari film ini, yaitu karena pemainnya yang notabene adalah artis papan atas Indonesia, dan ceritanya di film mereka menjadi warga negara asing (Turki, India, Spanyol, dsb). Tapi hal tsb tidak didukung dengan konsistensi penggunaan bahasa. Jadi di awal percakapan doang pada pake bahasa Jerman/Prancis/Inggris, abis itu ngobrolnya dilanjutin pake bahasa Indonesia. Agak bias jadinya, saya sebagai penonton jadi sulit membedakan, ini ceritanya orang Indonesia atau orang dari negara lain hehehe. Kalo dari sisi pengambilan gambar sih bisa saya acungkan jempol, keren banget! Bikin saya makin pengeeen jalan-jalan keliling Eropa! 😀

41 thoughts on “Tentang Film Soekarno dan 99 Cahaya di Langit Eropa

  1. buzzerbeezz

    Tapi hal tsb tidak didukung dengan konsistensi penggunaan bahasa. Jadi di awal percakapan doang pada pake bahasa Jerman/Prancis/Inggris, abis itu ngobrolnya dilanjutin pake bahasa Indonesia. <- Sama kayak dulu film Ayat-ayat Cinta! Mengganggu banget hal kayak gini..

    Like

    Reply
    1. liamarta Post author

      Tapi kan ada subtitle nya mba. Justru jadi bingung kalo bahasanya sama2 bahasa Indonesia padahal si tokohnya diceritakan orang Turki, Spanyol, dsb gitu 😦 Iya Ayat-Ayat Cinta dulu gitu juga ya..

      Like

      Reply
  2. syifna

    Belum nonton dan belum juga baca novelnya. lukisan Bunda Maria di Museum Louvre, yang mana di jubahnya terukir kaligrafi arab yang kalo dibaca berbunyi “La illaha illallah” dan fakta gerbang kemenangan Arc de Triomphe yang jika ditarik lurus ke depan, akan membawa kita ke bangunan-bangunan bersejarah lainnya di Paris, salah satunya Museum Louvre. Dan jika ditarik kembali garis lurus ke arah timur akan membawa kita ke sebuah tempat paling monumental di muka bumi ini, yaitu Ka’bah di Masjidil Haram => kata adeku juga gitu ( hahaha sorry aku copas tulisannya ) jadi semakin penasaran huuumm …. semakin penasaran juga Eropa itu seperti apa xixixi … taunya cuma liat gambar2 cantik doang di google hiks

    Like

    Reply
  3. tikamustofa

    Saya setuju masalah bahasa itu bikin ganggu banget, emang sih bakal menyulitkan penulis skenario, mesti nambah subtitle juga, tapi menurut saya di sisi lain itu akan lebih memberi rasa film ini seperti kejadian aslinya. Dan juga tantangan buat pemainnya maen total dengan bahasa asing.

    Selain itu juga masalah sponsornya, agak kurang masuk akal aja masa Marion Latimer yang orang Perancis make label lokal kosmetik Indonesia (scene buka tas pas cerita soal Arch du Triomphe)

    Terus juga scene-nya Fatin maksa banget jadi tempelan gitu, kalau ini dihilangkan bakal lebih baik.

    Jadi nggak sabar nunggu part 2 😆

    Belum nonton Soekarno 😦

    Like

    Reply
  4. Dini

    kalo menurut sy cara yg dilakukan Fatma itu tetap melawan namanya Mbak Lia bukan menyerah…tapi melawan dengan santun.
    Mereka betul2 mau memperlihatkan bahwa islam itu santun.
    Kalo sy yang bingung itu cerita ttg bentroknya jadwal ujian dan shalat jum’at, koq seperti menggantung yaa, bingung dengan pesan yang mau disampaikan.
    Apakah kita memang harus mengalah pada keadaan …ooh mungkin ini ya yang Mbak Lia maksud mengalah ? 🙂

    Like

    Reply
    1. liamarta Post author

      Kemarin sempat ambigu juga sih saya nulisnya bu Dini hehehe. Intinya bukan mau bilang menyerah sih, tapi yang bu Dini bilang itu, ‘melawan dengan santun’. Tidak menunjukkan perlawanan secara blak-blakan, justru terlihat seolah2 ‘diam dan mengalah’. Terkadang cara seperti itu justru membuat lawan malah jadi berbalik arah dan menghargai kita hehehe.. 😀

      Like

      Reply
  5. Pingback: Cerita Lebaran 1435 H | My Life, My Story

  6. Pingback: Movie Marathon : Filosofi Kopi The Movie & Fast and Furious 7 | liandamarta.com

  7. Pingback: 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA | lutfiyaaif

  8. Pingback: ARTIKEL YOUTUBE – gemmarahima

Share your thoughts!