Beberapa hari lalu, salah seorang teman dekat saya cerita kalo dia baru saja mendapatkan Surat Peringatan (SP) terakhir di kantornya. Well, permasalahannya dari dulu selalu sama : karena sering telat bangun dan alhasil terlambat datang ke kantor. Dia kepikiran ingin resign. Tapi saya kembali mengingatkan, apakah betul ia sudah mantap untuk resign, karena setau saya ia belum ada pekerjaan pengganti yang bisa ‘menghasilkan’. Saya khawatir dia akan stress ketika nanti sudah resign tapi ternyata setelah itu malah menganggur dan tidak punya penghasilan, mengingat betapa susahnya mencari pekerjaan di Pekanbaru ini.
Flashback ke beberapa bulan sebelum itu, ia memang sering mengeluhkan tentang kondisi pekerjaannya di kantor. Terutama tentang manajemen waktu. Saya melihat begitu banyak yang ia kerjakan. Tidak hanya urusan kantor saja, tetapi urusan lainnya juga termasuk urusan keluarga, bisnis pribadinya, dan orang-orang di sekitarnya. Secara tidak langsung, hal-hal tersebutlah yang sering membuatnya keteteran. Datang ke kantor terlambat, setiap jam kantor selalu keluar dan ketika dicari rekan kerjanya jarang ada di tempat.
Well, saya percaya kalo setiap orang punya batasan dalam melakukan sesuatu hal. Manusia bukanlah robot yang bisa dijejali dengan banyak pekerjaan dalam waktu bersamaan. Masing-masing pekerjaan pasti ada standar prioritasnya masing-masing. Itu yang saya katakan pada dia. Tentukan prioritas. Jangan semuanya dikerjakan sendiri.
Tapi ya, saya gak berada di posisi dia. Gak tau seberapa sulitnya memilah-milah pekerjaan itu agar tidak mengganggu ritme kehidupannya. Saya cuma bisa cuap-cuap bahwa harusnya begini harusnya begitu. Selanjutnya ya semuanya dikembalikan lagi kepada dia selaku tokoh utama dalam menjalankan kehidupannya itu.
Sampai akhirnya berita tentang SP3 itu datang. Dan ia diminta untuk menandatangani perjanjian dengan kantornya, jika sekali lagi ia terlambat datang ke kantor, ia siap untuk mengundurkan diri. Saya sedih. Karena sebenarnya hal-hal tersebut bisa dihindari. Karena sudah sejak dulu ia diperingati. Tapi ternyata tetap saja tidak peduli.
Lesson learned dari case ini, bahwasanya ketika kita memutuskan untuk peduli dengan orang lain, alangkah lebih baiknya kalo kita juga jangan lupa untuk peduli pada diri kita sendiri. Kita selalu siap untuk membantu orang lain keluar dari masalahnya, tapi kita lupa untuk membantu diri kita sendiri. Miris, menurut saya.
Tapi yah, saya cuma bisa kembali bercuap-cuap. Cuma bisa mengingatkan. Dan pastinya cuma bisa berdoa. Semoga ia diberikan jalan dan solusi terbaik dalam menjalani kehidupannya. Semoga segera ada pekerjaan pengganti yang lebih baik, yang bisa ia dapatkan sebelum ia memutuskan untuk resign dari pekerjaannya sekarang. Dan semoga Allah senantiasa membalas kebaikannya pada orang-orang di sekitarnya yang selalu ia pedulikan.
***
By the way, postingan ini udah lama kepikiran sejak dia cerita SP3 itu beberapa hari lalu, tapi baru sempat diposting sekarang. Dan yang saya ingat ketika mau menulis ini, adalah sebuah quotes yang pernah saya baca di blognya Mbak Maya dan Baginda Ratu :
Untukmu (you know who you are :)), maaf kalo mungkin kadar rasa peduliku sudah tidak sebesar dulu. Bukan, bukan berarti aku sudah tidak peduli lagi. Mungkin aku sudah merasa lelah untuk peduli, karena ternyata yang dipedulikan juga (mungkin) tidak lagi peduli pada dirinya sendiri. Tetap semangat, keep do your best, and I’m pretty sure that Allah will do the rest! 🙂
Wah…. aku nggak berani komentar, Li. Takut salah, euy! Maksudku, kita nggak tahu apa yang terjadi sebenernya. Urusannya banyak disana sini, apakah krn ada kebutuhan lain yg mendesak utk dipenuhi dan nggak cukup cuma dari 1 tempat kerja, atau bagaimana….
Yang jelas aku setuju, kita harus punya prioritas yg jelas, jangan sampe ada pihak lain yg ngerasa dirugikan gara2 kita pengen kerjain semua2nya, kan? Oh, dan aku suka kalimat penutupnya: Allah will do the rest! 🙂
LikeLike
Iya mbak, aku juga gak tau apa yang terjadi sebenarnya. Jadi kadang berusaha maklum juga sih hehe. Tapi ya itu, aku justru kasihan sama dia kalo urusannya yang lain justru jadi keteteran karena dianya gak bikin prioritas. Aku kenal dia baik secara in person, dan dia orangnya emang baik banget sih sama orang lain, makanya aku berharap kebaikan yang sama juga dia dapatkan hehehe. 🙂
LikeLike
Hiks, aku sering gak peduli sama diriku sendiri, ujung-ujungnya aku nyesal pas aku sadar betapa ruginya aku udah menyia-nyiakan kesempatan… 😦 😦 😦
LikeLike
Nah, itu dia poinnya, kadang kita ‘kurang’ memperhatikan diri kita sendiri tanpa sadar kalo ada kesempatan baik yang kita lewati kan? hehehe..
LikeLike
betul sekali… 🙂
LikeLike
betz sekali, kalo ybs sendiri aja gak peduli, kenapa orang lain harus peduli 🙂
salam
/kayka
LikeLike
Hehehe iyaa, tapi kadang suka ga tega juga ya untuk ga peduli kalo kita kenal dekat sama dia mbak hehehe 😀
LikeLike
bener juga ya.. sekali sekali, kita mesti mengingatkan diri untuk perduli kepada diri sendiri ya Mbak..
LikeLike
Iya mbak hehe.. Makasih ya udah mampir 🙂
LikeLike
Mungkin memang ada alasan si temen untuk berbuat begitu, tapi alangkah lebih baiknya menghargai diri sendiri dan bener kata Lia (peduli dengan diri sendiri) supaya walopun keluar dr perusahaan tersebut nama kita ini masih bagus.
LikeLike
Iyah mba fascha. Aku cuma gak mau dia punya image buruk karena keteledorannya sendiri. Tapi alhamdulillah sekarang keadaannya udah jauh lebih baik 🙂
LikeLike
Iya kasian kan kl di blacklist perusahaan lain?
LikeLike
Iyah mba, itu juga yang aku khawatirin. Semoga sih ngga ya mba, semoga dia bisa memperbaiki semuanya karena aku yakin dia sebenarnya bisa 🙂
LikeLike
Perduli sama orang yang jelas jelas gak perduli sama dirinya sendiri tuh emang agak masokis ya ;). Mungkin awalnya kita bakal ngerasa bersalah, tapi lama lama biasa juga. Lah wong dia nya juga gak perduli kan? 🙂
LikeLike
Hehehehe iya mba, berharapnya sih dari dianya yang cepat ‘sadar’ karena toh demi kebaikan dirinya sendiri juga ya hehehe 😀
LikeLike
Kalau dia sendiri tak peduli sama dirinya sendiri, bagaimana orang lain mau peduli kepadanya. Ya toh?
LikeLike
Betul betul betul *ala upin ipin* 😀
LikeLike
Pingback: Mengapa Orang Lain Hanya Pedulikan Diri Mereka Sendiri? (Part 1) | Bolehkah Aku Mencinta